Makna Filosofis dari Tokoh Punakawan (Gareng – Bagian 2)

0
2107

Gareng adalah tokoh punakawan yang memiliki tampilan fisik jauh dari kata ganteng atau sempurna seperti para ksatria Pandawa yang memilik fisik paras rupawan. Dia suka bercanda dan memiliki ketulusan pengabdian terhadap tuannya.

Gareng adalah punakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul. Nama lengkap dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng, hanya saja masyarakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”.

Jauh sebelum menjadi seorang punakawan, Gareng adalah sosok satria sakti dan tampan bernama Bambang Sukodadi dari padepokan Bluktiba. Dengan segala kelebihannya tersebut, Bambang Sukodadi menjadi sombong dan selalu menantang setiap ksatria yang dia temui. Kesombongan Bambang Sukodadi berakhir ketika dia selesai melakukan pertapaan panjangnya.

Pada suatu hari ketika Bambang Sukodadi melakukan perjalanan penaklukan, ia berjumpa dengan seorang ksatria tampan bernama Bambang Panyukilan (Petruk). Kedua ksatria tampan tersebut memiliki kesaktian yang sama hingga mereka tidak mau mengalah satu dengan lainnya, keduanya bertarung habis-habisan sampai titik darah penghabisan. Pertempuran itu membuat keduanya mengalami banyak luka di tubuhnya hingga mengakibatkan wajah tampan keduanya mengalami kerusakan permanen.

Ketika kedua ksatria tampan itu mengalami kelelahan setelah bertempur sengit, datanglah Bethara Ismaya (Semar) mendamaikan keduanya. Kedatangan Bethara Ismaya didasarkan pada jalan kebenaran sehingga kedua ksatria tersebut mengikuti nasehat atau tausiahnya. Didasarkan ketulusan dan kearifan dari Bethara Ismaya, kedua ksatria tersebut akhirnya sadar dan luruh dengan keegoisannya.

Mereka berdua minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Dempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua kesatria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.

Filosofi Nala Gareng menurut versi gubahan Sunan Kalijaga diadaptasi dari kata Naala Qariin. Dalam pengucapan lidah Jawa lantas kata tersebut menjadi Nala Gareng, yang memiliki arti banyak teman. Sebagai juru dakwah meyebarkan kebenaran, para aulia tentu berharap mendapatkan sebanyak mungkin teman (ummat) agar mengikuti kejalan kebenaran dengan sikap arif dan niatan mulia. (aanardian/kotajogja.com)

Tinggalkan Komentar