ENSIKLOPEDIAINDONESIA.COM – Menurut naskah sejarah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesia (1518), kujang mulai dibuat pada abad ke-8 hingga ke-12, berbahan dasar dari besi, baja dan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram. Semula kujang digunakan sebagai alat berladang. Saat ini, masyarakat Baduy yang berada di Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi masih setia menggunakan kujang untuk kegiatan berladang. Selain itu kujang adalah perefleksian ketajaman serta daya kritis dalam kehidupan, di samping itu kujang melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran.
Mengutip tulisan Anis Jatisunda budayawan Sunda, “Di dalam naskah kuno Pantun Bogor, kujang berkembang menjadi senjata yang memiliki banyak fungsi. Kujang sebagai senjata perlambang pusaka (keagungan dan pelindung), pakarang (berfungsi sebagai senjata perang), pangarak (berfungsi sebagai senjata dalam sebuah upacara), dan pamangkas (berfungsi untuk berladang atau bertani,”.
Selain itu Anis DJatisunda juga menjelaskan untuk membedakkan jenis kujang yang satu dengan lainnya dapat dilihat berdasarkan bentuk bilahnya, ada yang disebut kujang jago (mirip ayam jago), ciung (burung ciung), kuntul (bangau), badak, naga, kodok dan tokoh wayang perempuan perlambang kesuburan.
Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (1996-2000) karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara lain: papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.
Kemunculan senjata kujang menjadi jimat, pertama kali dalam sejarah Kerajaan Padjadjaran Makukuhan dan Panjalu, pada masa pemerintahan Prabu Kudo Lalean (disebut juga Prabu Kuda Lelean di tanah Sunda dan Kerajaan Panjalu Ciamis).
Melalui tapa brata yang panjang, Prabu Kuda Lelean atau Hyang Bunisora mendapatkan ilham untuk mendesain ulang kujang berserta fungsinya tidak terbatas hanya sebagai alat pertanian. Sejak itu, Kujang secara berangsur-angsur dipergunakan para raja dan bangsawan Kerajaan itu sebagai lambang kewibawaan dan kesaktian.
Setelah mengakhiri tapa bratanya, Prabu Kudo mengutus Mpu Windu Supo memulai pekerjaannya. Proses pembuatan Kujang sebagai pusaka dilaluinya dengan mengakulturasi sentuhan magis yang diperkaya nilai-nilai filosofi spiritual. Inilah sebuah Kujang yang bentuknya unik, dan menjadi sebuah objek bertenaga gaib. Senjata ini memiliki 2 buah karakteristik yang mencolok. Bentuknya menyerupai Pulau Jawa dan terdapat 3 lubang di suatu tempat pada mata pisaunya. Inilah sebuah senjata yang pada generasi mendatang selalu berasosiasi dengan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan.
Bentuk Kujang berkembang lebih jauh pada generasi mendatang. Model-model yang berbeda bermunculan. Ketika pengaruh Islam tumbuh di masyarakat, Kujang telah mengalami reka bentuk menyerupai huruf Arab “Syin”. Ini merupakan upaya Prabu Kian Santang(Dikenal juga dengan Nama Prabu Borosngora ,dan Bunisora Suradipati dari kerajaan panjalu), yang berkeinginan meng-Islamkan rakyat Pasundan.
Akhirnya filosofi Kujang yang bernuansa Hindu dan agama dari kultur yang lampau, direka ulang sesuai dengan filosofi ajaran Islam. Syin sendiri adalah huruf pertama dalam sajak (kalimat) syahadat dimana stiap manusia bersaksi akan Tuhan yang Esa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan mengucap kalimat syahadat dan niat di dalam hati inilah, maka setiap manusia secara otomatis masuk Islam.
Bergantinya satu generasi ke generasi yang lain menjadi salah satu peristiwa berkembanganya bentuk atau model kujang yang berbeda. Pada masa kekuasaan Prabu Kian Santang, pengaruh Islam tumbuh pesat di masyarakat tanah Pasundan. Filosofi kujang yang bernuansa Hindhu pun ikut direka ulang agar sesuai dengan manifestasi nilai Islam, kujang telah mengalami reka bentuk menyerupai huruf Arab “Syin”.
Lima lubang pada Kujang telah menggantikan makna Trimurti. Kelima lubang ini melambangkan 5 tiang dalam Islam (rukun Islam). Sejak itulah model Kujang menggambarkan paduan dua gaya yang didesain Prabu Kudo Lalean dan Prabu Kian Santang. Namun wibawa Kujang sebagai senjata pusaka yang penuh “kekuatan lain” dan bisa memberi kekuatan tertentu bagi pemiliknya, tetap melekat.
Dalam perkembangannya, senjata Kujang tak lagi dipakai para raja dan kaum bangsawan. Masyarakat awam pun kerap menggunakan Kujang sama seperti para Raja dan bangsawan. Di dalam masyarakat Sunda, Kujang kerap terlihat dipajang sebagai mendekorasi rumah.