Indonesia kaya akan suku dan ragam budayanya, salah satunya adalah suku Karo, kemarin badia dan teman-teman melakukan perjalanan ke Kabanjahe, dan kami pun menyempatkan melihat Rumah Adat Karo. Ternyata satu rumah adat karo itu tidak hanya ditempati oleh satu keluarga saja melainkan ada 8, 12, dan bahkan 16 keluarga lho.
Lokasi dari rumah adat yang badia datangi ini terletak di Desa Lingga Kabanjahe, Rumah Adat Karo juga terkenal dengan seni arsitekturnya yang khas, gagah dan kokoh, tidak hanya itu rumah adat karo juga dihiasi dengan ornamen-ornamen yang kaya akan nilai-nilai filosofis.
Makna dari rumah adat karo sendiri menggambarkan hubungan yang erat antara masyarakat karo dengan sesama manusia dengan alam lingkungannya, bahan bangunan yang digunakan untuk membangun rumah adat karo ini tidak menggunakan beton, paku, dan kawat lho, melainkan menggunakan pasak dan tali ijuk, inilah yang menjadikan rumah adat karo semakin unik.
Pembangunan Rumah Adat Karo tidak terlepas dari jiwa masyarakat Karo yang tak lepas dari sifat kekeluargaan dan gotong-royong. Rumah Adat menggambarkan kebesaran suatu Kuta (kampung), karena dalam pembangunan sebuah Rumah Adat membutuhkan tenaga yang besar dan memakan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu pembangunan Rumah Adat dilakukan secara bertahap dan gotong royong yang tak lepas dari unsur kekeluargaan. Kegiatan gotong-royong ini terutama digerakkan oleh Sangkep Sitelu (sukut, kalimbubu dan anak beru) yang dibantu oleh Anak Kuta (masyarakat kampung setempat). Hal ini tidak terlepas dari sistem pemerintahan sebuah Kuta menggambarkan struktur sosial dan tatanan organisasi yang tinggi pada masyarakat Karo, yang terdiri dari pihak Simantek Kuta (pendiri kampung), Ginemgem (masyarakat yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Simantek Kuta) dan Rayat Derip (penduduk biasa). Pembangunan sebuah Rumah Adat pada jaman dahulu harus mengikuti ketentuan adat dan tradisi masyarakat Karo yang telah ada secara turun-temurun. Sebelum membangun Rumah Adat diawali dengan ‘Runggu’ (musyawarah) dalam menentukan hari baik untuk memulai pembangunan, pada hari pembangunan diadakan sebuah upacara untuk meletakkan pondasi rumah dan meminta petunjuk dan perlindungan dari para leluhur orang Karo agar pelaksanaan pembangunan berjalan dengan baik. Demikian juga ketika Rumah Adat telah selesai dibangun, maka diadakan lagi upacara Mengket Rumah Mbaru (memasuki rumah baru). Upacara ini juga diawali dengan Runggu, untuk menentukan hari baik untuk mengketi (mendiami) rumah baru tersebut. Pada hari yang ditentukan diadakan upacara pengucapan syukur kepada leluhur, dan memohon agar rumah yang telah selesai dibangun dapat bertahan lama dan para penghuninya hidup harmonis serta menjadi berkat dan dijauhkan dari bencana.
Rumah adat karo disebut rumah waluh jabu karena dihuni oleh delapan keluarga, namun seperti yang badia bilang tadi ada juga yang dihuni oleh 12, dan 16 keluarga, rumah adat karo yang paling besar adalah sepuluhenem jabu atau 16 keluarga, namun sekarang rumah adat sepuluh enem jabu sudah tidak ada lagi.
Setiap Jabu (keluarga) menempati posisi di Rumah Adat sesuai dengan struktur sosialnya dalam keluarga. Letak Rumah Adat Karo selalu disesuaikan dari arah Timur ke Barat yang disebur Desa Nggeluh, di sebelah Timur disebut Bena Kayu (pangkal kayu) dan sebelah barat disebut Ujung Kayu. Sistem Jabu dalam Rumah Adat mencercerminkan kesatuan organisasi, dimana terdapat pembagian tugas yang tegas dan teratur untuk mencapai keharmonisan bersama yang dipimpin Jabu Bena Kayu/Jabu Raja.
(sumber: palingindonesia.com ; foto: pecintawisata.wordpress.com)