Ebiet G. Ade penyanyi solo yang karirnya sudah malang melintang di industri musik Indonesia, namanya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia khususnya, ia dikenal dengan lagu-lagunya yang selalu mengangkat soal isu sosial, bertema alam, duka derita bencana alam / kelompok minoritas, lirik lagunya realistis dibalut dengan petikan gitarnya yang khas membuat siapapun akan cepat mengenal karyanya. Pria yang lahir di Wanadadi, Banjarnegara 21 April 1954 lalu ini selalu konsisten dengan genre musik balada yang diusungnya sejak awal karir, ia “memotret” kehidupan nyata masyarakat Indonesia melalui karya-karyanya sejak tahun 70-an hingga sekarang, kesemua lagu yang dibawakannya merupakan hasil karyanya sendiri, ia tulis sendiri dan tidak pernah membawakan lagu ciptaan orang lain kecuali Surat dari Desa yang diciptakan Oding Arnaldi, dan yang paling hits baru-baru ini adalah lagu Mengarungi Keberkahan Tuhan yang ia tulis bersama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Suami dari Koespudji Rahayu Sugianto ini terlahir dengan nama Abid Ghoffar, anak bungsu dari 6 bersaudara pasangan Aboe Djafar dan Saodah, Ebiet kecil punya banyak cita-cita, namun dengan menjadi penyanyi justru membuatnya sukse kini, latar belakang ketertarikannya pada dunia hiburan bermula dari bakatnya di dunia kepenyairan. Sejak kecil ia terhitung menghabiskan masa sekolahnya di kota Yogyakarta, sejak ayahnya pensiun dari pekerjaannya ia mendapat pilihan untuk masuk FE UGM atau kakaknya jadi sarjana di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, nyatanya ia lebih memilih bergabung dengan sebuah grup vokal. Nama Ebiet ia dapat dari guru Bahasa Inggrisnya semasa SMA, gurunya yang keturunan asing tidak bisa menyebutkan namanya dengan fasih sehingga biasa memanggilnya Ebiet, lama-lama ia terbiasa dipanggil Ebiet oleh teman-temannya, siapa sangka nama ini justru mnjadi hoki yang membesarkan namanya kemudian, menjadi nama tenarnya. Tidak dipungkiri, kota Jogja mengembangkan ketertarikannya pada dunia seni, motivasi terbesar yang membangkitkan kreativitas hingga terciptanya karya-karyanya adalah kala bersahabat dengan Emha Ainun Najib (Penyair), Eko Tunas ( Cerpenis) juga seorang penulis bernama E. H. Kartanegara. Meski mahir membuat puisi, ia tidak jago mendeklamasikannya, hingga terbersitlah ide untuk membaca puisi dengan cara lain yakni menggunakan musik. Ia belajar gitar dari kakaknya, lalu di Jogja ia mendalami ilmu gitarnya dengan Kusbini. Awalnya ia hanya menyanyi di pentas-pentas kecil sekitaran kota Jogja saja, namun atas dorongan sahabat-sahabat dekatnyaakhirnya ia bersedia mencoba peruntungan di belantika industri musik nusantara. Ia mulai meniti karir di Ibukota melalui rekaman demi rekaman yang akhirnya menuai hasil. Prestasinya meluas hingga ke mancanegara tak heran ia sempat merajai dunia musik pop Indonesia kisaran tahun 1979-1983. Tahun 1990, ia memilih vakum dari hingar bingar industri musik dan menelurkan album kembali tahun 1995 bertajuk Kupu-Kupu Kertas, ia pun menjadi salah satu penyanyi pendukung album Kita Untuk Mereka yang didedikasikan bagi korban bencana Tsunami tahun 2004 bersama 57 orang musisi lainnya. Ayah dari 4 orang anak ini selama perjalanan karirnya sudah mengantongi banyak penghargaan diantaranya meraih penghargaan BASF Awards tahun 1984 – 19198, Lagu Terbaik AMI Sharp Award tahun 2000, Duta Lingkungan Hidup (2006), dan banyak lagi lainnya. (Arisca Meir/inloveindonesia.com) (Foto: last.fm)