Salah satu wilayah rawa paling eksotis di Papua bagian selatan ternyata bukanlah tanah tak bertuan. Dengan luas sekitar 600 km, Suku Korowai, mendiami wilayah subur hutan belantara ini. Suku korowai diyakini sebagai satu-satunya suku kanibal yang masih tersisa hingga kini.
Hingga tahun 1970, suku Korowai tidak mengenal selain populasi mereka sendiri, pertama kali suku ini ditemukan oleh seorang misionaris kristen dan mulai hidup bersama mereka. Mulai saat itu, beberapa peneliti asing mulai berdatangan karena ketertarikan mereka terhadap suku kanibal ini.
Suku Korowai memilik tempat tinggal yang unik, dengan permukiman yang ada di tengah hutan belantara, membuat mereka membangun rumah di atas pohon dengan ketinggian sekitar 80 meter. Selain dapat melindungi mereka dari panas dan banjir saat hujan, rumah mereka juga dapat melindungi mereka dari seranga-serangga hutan dan hewan-hewan buas yang hidup di hutan. Selain itu, rumah mereka juga berfungsi sebagai benteng ketika terjadi perang saudara. Tempat mereka tinggal ini disebut “Rumah Tinggi”.
Bahasa yang digunakan oleh mereka termasuk dalam keluarga Awyu-Dumut (Papua Tenggara) dan merupakan filum Trans-Nugini. Sebuah tata bahasa dan kamus telah diproduksi oleh ahli bahasa misionaris Belanda.
Mayoritas klan Korowai tinggal di rumah pohon di wilayah terisolasi mereka. Sejak tahun 1980 sebagian telah pindah ke desa yang baru dibuka , Yaniruma.
Bagi Suku Korowai, tradisi kanibal tidak dapat sembarangan dilakukan. Berdasarkan kepercayaan yang mereka anut, Suku Korowai hanya membunuh manusia yang dianggap melanggar aturan, seperti melakukan praktek perdukunan, atau ‘khuakhua’. Jika banyak bukti yang memberatkannya, maka ia akan dibunuh, dan dagingnya akan dibagi-bagikan, sementara otaknya akan dimakan selagi hangat. Orang yang membunuh khuakhua berhak menyimpan tengkoraknya. Oleh karena itu, hampir semua warga suku Korowai pernah memakan daging manusia, sehinga bagi mereka, kanibalisme bukan sesuatu hal yang tabu. (Hikari/inloveindonesia.com)