“Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata…!” Kalimat tersebut bermakna, “Adil dan toleran terhadap sesame, bercermin ke surge dan setiap tarikan napas harus patuh terhadap Tuhan. Setiap ada yang mengucapkan salam tersebut, orang harus menjawab, arus, arus, arus yang berarti mengiyakan dan mengharapkan salam itu akan terpenuhi dalam kehidupan semua orang.
Salam tersebut kerap dijumpai dalam setiap upacara adat Naik Dango yang merupakan sebuah upacara untuk menghaturkan rasa syukur terhadap Nek Jubata atau Sang Pencipta atas berkah yang diberikannya berupa hasil panen (padi) yang berlimpah. Tidak hanya itu, upacara yang biasa dilakukan oleh masyarakat adat Dayak Kanayatn yang mendiami Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, hingga Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat tersebut diselengarakan secara rutin setiap tahun.
Upacara Naik Dango memiliki empat kegiatan utama. Yang pertama berjuluk Batutuk atau kegiatan menumbuk padi dalam lesung untuk mendapatkan beras, tepung beras (sunguh) atau beras ketan (poe’) untuk persiapan ritual makan bersama atau sesaji. Kemudian disusul dengan acara Matik alias mengucapkan doa untuk menyampaikan maksud dan niatan kepada Nek Jubata agar member restu pada pelaksanaan upacara Naik Dango. Di sini disajikan juga perangkat adat berupa Tumpi Sunguh (cucur putih), Solekng Poe” (ruas bambu berisikan ketan masak), hingga Sirih Masak (daun sirih, pinang siap kunyah dan gulungan rokok daun nipah)
Perhelatan Naik Dango memiliki inti upacara berupa Nyangahathn alias melantunkan doa dan mantra-mantra oleh Panyangahatn (imam adat) untuk memanggil semangat padi, mengucapkan syukur kepada Tuhan atas anugerah yang diberikannya berupa panen padi sampai memohon ampun kepada Nek Jubata atas dosa dan kesalahan dan meminta agar diberikan kesejahteraan pada tahun yang akan datang.
Selanjutnya para peserta upacara akan saling mengunjungi rumah kerabat dan tetangga dan disajikan kudapan atau penganan berupa poe atau salikat (lemang atau pulut yang terbuat dari beras ketan yang ditanak di dalam batang bambu), tumpi cucur (campuran tepung terigu dan tepung beras yang diaduk dengan gula merah dan digoreng), Bontonkng (berbahan baku beras sunguh/beras lading-Bontonkng Sumuh dan yang berbahan dasar beras pulut ladang alias Bontonkng Poe’)
Naik Dango sendiri bermula dari mitos asal mula padi mashyur di antara orang Dayak Kalimantan Barat lewat kisah Ne Baruankng Kulup. Cerita tersebut diawali dengan asal mula padi milik Jubata di Gunung Bawang yang dicuri oleh burung pipit. Padi tersebut kemudian jatuh ke tangan Ne Jaek yang sedang mengayau alias memenggal. Akibat hanya membawa setangkai padi dan bukan kepala, maka Ne Jaek pun menuai ejekan.
Keteguhan Ne Jaek yang ingin membudidayakan padi tersebut menyebabkan pertentangan di sukunya yang berimbas pada diusirnya Nenek Jaek dari kampungnya. Dalam pengembaraannya, dia bertemu dengan Jubata dan lalu menikah. Perkawinan tersebut menghasilkan Ne Baruankng Kulup yang akhirnya membawa padi kepada “Talino” (manusia) akibat senang turun ke dunia untuk bermain Gasing. Hal tersebut membuat Ne Baruankng Kulup diusir dari Gunung Bawang dan kemudian menikah dengan manusia. Dial ah yang mengenalkan padi (beras) untuk menjadi makanan utama manusia menggantikan Kulat (jamur).
Pada hakekatnya, upacara Naik Dango memiliki tiga aspek. Aspek tersebut antara lain aspek kehidupan masyarakat agraris di mana masyarakat Dayak mengungkapkan tradisi bercocok tanam dengan padi sebagai panen utamanya. Aspek kedua adalah aspek kehidupan religious. Lewat Naik Dango, masyarakat Dayak mengekspresikan rasa syukur, terima kasih dan hormat kepada Tuhan atas panen yang mereka peroleh. Aspek yang terakhir adalah aspek kekeluargaan, solidaritas dan persatuan. Penyelenggaraan Naik Dango secara serentak dalam wilayah kesatuan hukum adat (binua) merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk mempererat silaturahmi antar keluarga khususnya dan masyarakat Dayak umumnya.
(sumber: palingindonesia.com)